Blogger news

Rabu, 19 Desember 2012

gusholis-net™- Jika Anda punya account Facebook, cobalah lihat sejenak. Jika hari Sabtu lusa  Anda kebetulan membukanya, niscaya ribuan status yang ada di sana berisi tentang pujian, penghargaan, apresiasi, dan segala hal lainnya kepada seorang ibu. Begitu juga di surat kabar, televisi dan media-media lainnya juga sama membahas tentang kemuliaan seorang ibu. 22 Desember memang dinobatkan menjadi Hari Ibu—seperti yang kita ketahui.

Tidak ada yang salah dengan kemuliaan seorang Ibu. Islam, sejak keberadaannya dan sejak dibawa oleh Rasulullah, telah meletakkan posisi seorang ibu sangat tinggi. Ibu, ibu, ibu, baru kemudianlah seorang ayah, yang wajib dihormati oleh seorang anak, begitu hadist Rasulullah saw yang sudah terkenal. Pemuliaan kepada seorang ibu terjadi setiap waktu, bukan hanya satu hari saja.

Tentu jika sekarang ada Hari Ibu, maka ada sesauatu yang lain di sana. Hari Ibu adalah hari peringatan/ perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya. Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebas-tugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Dan Hari Ibu dilaksanakan di seluruh dunia dengan nama Mother’s Day dengan berbeda-beda tanggalnya.

Menurut Wikipedia, Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Jadi di sini, Hari Ibu bisa jadi kedudukannya sama dengan Hari Valentine, April Mop, Tahun Baru Masehi, Hari Bumi dan hari-hari lainnya yang bermuara pada kepercayaan pagan Yunani. Merayakannya sama saja dengan mengakui adanya kebiasaan-kebiasaan ritual itu.

Mungkin ada pembenaran; yah, nggak apa-apalah, dalam satu hari, seorang ibu libur dulu dari tugas-tugas rutinnya. Ibnu Umar ra berkata, Sabda Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang tinggal di rumah bersama anak-anaknya, akan tinggal bersama-samaku dalam surga." Artinya, tidak ada berhenti atau cuti ketika sudah menjadi ibu—posisi yang sangat mulia dalam kehidupan. Adapun beban pekerjaan, bukankah Islam telah mengatur sedemikian rupa pendelegasian dengan suami hingga semua tugas dibagi rata antara suami dan istri?

Hadist di atas bukannya mengekang seorang perempuan atau seorang ibu. Kita tentu ingat bahwa Rasul juga membuka wilayah social untuk para muslimah ketika itu. Ada banyak kisah yang menceritakan keterlibatan para ummahat dalam dakwah Rasulullah, termasuk peperangan.

Lantas, dimanakah posisi lelaki? Mungkin satu hadist ini bisa menjadi petunjuk dari berbagai posisi lelaki dan perempuan dalam Islam, "Satu dinar yang kamu belanjakan ke jalan Allah, satu dinar yang kamu belanjakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk kepentingan keluarga, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu" belanjakan untuk kepentingan keluarga."(HR Muslim).

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Bagaimanakah Pandangan Islam Tentang Perayaan Hari Ibu?

Dari sudut pandang Hari Ibu sebagai hari raya yang diciptakan masyarakat Barat, yang dilatarbelakangi oleh budaya dan kondisi masyarakat Barat yang berbeda dengan latar belakang budaya dan kondisi masyarakat Muslim di Timur, di mana di sana anak sudah melupakan bahkan tidak jarang menelantarkan ibunya, banyak ulama yang berpendapat bahwa memperingati Hari Ibu sama dengan meniru-niru atau menyerupai kebiasaan masyarakat lain, alias tasyabbuh. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, misalnya, mengatakan bahwa kita tidak perlu memperingati hari raya seperti itu. Menurut Qardhawi, bagi kita, umat Islam, “Hari Ibu” bahkan terjadi setiap saat. Dalam budaya masyarakat Muslim, setiap kali seorang anak keluar rumah selalu mencium tangan ibunya dan meminta didoakan. Nabi saw. mengajarkan bahwa kedudukan ibu begitu tinggi yang harus selalu dihormati.

Tetapi, tidak sedikit pula ulama yang membolehkan memperingati Hari Ibu dengan syarat bahwa penghormatan kita terhadap ibu tidak hanya kita batasi pada hari itu saja, juga tanpa harus menganggap hari itu sebagai sebuah hari raya (karena hari raya dalam Islam hanya dua: Idul Fitri dan Idul Adha), dan juga tanpa ada unsur meniru-niru kebiasaan masyarakat non-Muslim di Barat yang terlarang (misalnya: meminum minuman keras, dan lain-lain). Pendapat seperti ini antara lain dianut oleh Syaikh Faishal Maulawi, salah seorang ulama Muslim di Eropa.

Menurut dia, persoalan memperingati Hari Ibu terletak pada dua hal. Pertama, menjadikan hari itu sebagai hari raya dalam pengertian syariat Islam dan, kedua, mengkhususkan penghormatan dan pengabdian kepada ibu hanya pada hari itu saja. Maka, lanjutnya, jika kedua hal tersebut tidak ada, memperingati Hari Ibu boleh-boleh saja. Kalaupun itu dianggap sebagai meniru-niru (tasyabbuh) budaya Barat, menurut Maulawi, itu tasyabbuh yang dibolehkan. Karena tasyabbuh yang dilarang adalah tasyabbuh pada hal-hal yang memang spesifik ajaran agama dan/atau budaya mereka dan tidak ada akarnya atau dasarnya dalam budaya/ajaran Islam. Sedangkan menghormati ibu jelas sekali ada dasarnya dalam syariat Islam.

Ulama yang lain, Syaikh Abdul Fattah Asyur, salah seorang ulama Al-Azhar, Mesir, berpendapat bahwa sejauh ini umat Islam tidak memandang Hari Ibu sebagai sebuah hari raya yang bersifat keagamaan (dianggap sebagai ritual keagamaan, ‘îd dînî), tetapi lebih merupakan sebuah bentuk ekspresi rasa cinta, kasih, sayang, penghormatan, dan pengabdian anak kepada ibunya yang memang amat berjasa dalam hidupnya. Memperingati Hari Ibu dengan pemahaman seperti itu, menurutnya, bukan sebuah bentuk tasyabbuh terhadap budaya tertentu. Dalam memperingati Hari Ibu, kita tetap melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan tidak melakukan apa-apa yang dilarang-Nya. Dengan begitu, ini bukan tasyabbuh, juga bukan meniru-niru agama lain.

Dari uraian di atas, hemat saya, selama kita tidak menjadikan Hari Ibu sebagai hari raya dalam pengertian syariat Islam (dalam Islam, antara lain, kita dilarang berpuasa pada hari raya), boleh-boleh saja kita melakukannya. Apalagi hal-hal seperti itu termasuk persoalan keduniaan di mana agama telah memberikan kita keleluasaan untuk menyikapinya dengan tidak melarang atau menganjurkan. Apalagi semangat dari Hari Ibu adalah penghormatan terhadap ibu yang jelas-jelas diajarkan oleh Islam. Ini tentu berbeda dengan memperingati Valentine Day yang dalam prakteknya sering kali menjurus pada praktek seks bebas. Yang ini tentu saja dilarang dalam Islam.

Demikian, wallahu a’lam.

Posted by in  on 04.25 2 comments

2 komentar:

  1. Info yang bermanfaat.. Tulisan ini yang selama ini saya cari.. Terima kasih banyak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat! ;)

      Hapus

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search Our Site

Sample Text